Pluralisme dan Penyesatan Opini

Sejak meninggalnya Gus Dur pada akhir Desember 2009, isu pluralisme kembali marak diperbincangkan. Sejumlah kalangan menganggap, meninggalnya Gus Dur merupakan momen untuk kembali menguatkan pluralisme di Indonesia. Bahkan dalam sebuah kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki Gus Dur sebagai ‘Bapak Pluralisme’ yang patut menjadi teladan bagi seluruh bangsa (Antara.co.id, 31/12/2009). Mantan ketua MPR Amien Rais pun menilai Gus Dur sebagai ikon pluralisme (Kompas.com, 2/1/2010). Kalangan liberal melalui salah seorang aktivisnya, Zuhairi Misrawi, menyatakan bahwa dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden SBY, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman terhadap pluralisme (Detik.com, 30/12/2009).

Di dunia akademis khususnya kampus, hingga tulisan ini dibuat, isu pluralisme masih mendapat tempat dalam berbagai forum. Di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya misalnya, pluralisme sempat dibahas dalam sebuah artikel berjudul “Isu Pluralisme, Pancasila Dipertaruhkan” dan diterbitkan dalam website resmi ITS, http://www.its.ac.id. Tulisan tersebut ditulis oleh Labib Fayumi, seorang jurnalis ITS Online yang kuliah di jurusan Teknik Informatika. Tulisan tersebut diawali dengan sebuah kutipan dari kitab Sutasoma yang salah satu isinya adalah konsep bhinneka tunggal ika. Menurut penulis, konsep pluralisme telah ada jauh sebelum pancasila lahir. Konsep tersebut telah diajarkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan harus dilestarikan. Dalam tulisannya, Labib kemudian memaparkan berbagai hal mengenai pluralisme. Dimulai dengan pemaparan bagaimana pluralisme telah menjadi latar belakang kelahiran Pancasila, dan ajakan untuk melestarikan pluralisme di Indonesia. Namun sayangnya tulisan tersebut sama sekali tidak menjernihkan pemikiran masyarakat. Bahkan pada akhirnya tulisan tersebut mengkaburkan pandangan kita tentang pluralisme itu sendiri.

Menjernihkan Bias Makna

Dalam tulisannya, Labib menyebutkan bahwa pluralisme telah ada jauh sebelum Pancasila lahir. Nenek moyang kita telah mengajarkan pluralisme sejak dahulu. Untuk memperkuat argumennya, Labib mengutip sebagian isi dari kitab Sutasoma yang menunjukkan semangat persatuan dan persamaan hak diatas perbedaan. Kemudian digambarkan seolah-olah kutipan itu merupakan konsep pluralisme dari nenek moyang. Padahal, dengan jelas kita bisa melihat bahwa istilah pluralisme merupakan sebuah istilah baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Sekeras apapun usaha seseorang untuk mencari kata tersebut dalam kitab Sutasoma atau buku-buku yang sezaman dengannya dapat dipastikan berujung pada sebuah kegagalan. Ini adalah salah satu contoh kerancuan penggunaan istilah yang muncul sebagai akibat kegagalan dalam mendefinisikannya.

Definisi memang penting. Itu sebabnya, Ibn Sina pernah berkomentar, “Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep.” Karena itu, definisi, menurut filosof Iran itu, sama pentingnya dengan silogisme (baca: logika berpikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk terlebih dahulu membahas mengenai definisi dari pluralisme itu sendiri agar kita tidak terjerumus ke dalam kerancuan dan kesalahan pembahasan mengenai istilah tersebut.

Ditinjau dari bentukan bahasanya, pluralisme merupakan serapan kata “pluralism” yang berasal dari Barat. Dalam bahasa Inggris, “pluralism” diterjemahkan sebagai “state or quality of being plural” (keadaan yang majemuk). Makna bahasa dari “pluralisme” adalah kemajemukan. Plural dalam bahasa Indonesia artinya majemuk atau jamak. Imbuhan -isme menunjukkan bahwa istilah tersebut merupakan sebuah paham, ideologi, kondisi, atau nomina. Imbuhan tersebut juga dapat kita temui dalam kata nasionalisme, komunisme, marxisme, marhaneisme, organisme, heroisme, dan sebagainya. Dan khazanah bahasa kita lebih memilih untuk menyerapnya menjadi “pluralisme”, bukan “majemukisme”, “jamakisme”, atau “bhinnekaisme”.

Ditinjau dari makna istilahnya, pluralisme memiliki beberapa definisi yang masing-masing bergantung penggunaannya pada lingkup pembahasan tertentu. Semisal, dalam pembahasan filsafat, pluralisme didefinisikan sebagai “The doctrine that reality is composed of many ultimate substances” yang kurang lebih artinya “suatu doktrin yang menganggap bahwa realitas terbentuk dari beberapa substansi asal” (dictionary.com). Dalam pembahasan politik, pluralisme didefinisikan sebagai “theory which opposes monolithic state power” (dictionary.com). Definisi tersebut tentu akan berbeda lagi apabila istilah pluralisme digunakan dalam lingkup pembahasan yang lain. Dalam hal ini, penulis tidak memungkiri bahwa istilah pluralisme belakangan lebih sering digunakan dalam lingkup pembahasan agama sehingga kemudian memunculkan istilah “pluralisme agama” (religious pluralism). Karena frekuensi penggunaannya yang besar itulah, istilah pluralisme kemudian lebih dipersepsikan sebagai pluralisme agama itu sendiri. Hal tersebut nampak dari tulisan-tulisan para akademisi ketika mereka membicarakan pluralisme. Salah satu contohnya adalah sebuah artikel berjudul “From Diversity to Pluralism” yang ditulis oleh Diana L. Eck, seorang profesor perbandingan agama dari Universitas Harvard. Tulisan tersebut diterbitkan dalam website resmi proyek pluralisme milik Universitas Harvard, pluralism.org. Dalam tulisan tersebut, Diana jelas-jelas menisbatkan pluralisme sebagai pluralisme agama, bukan yang lain.

Setelah melihat penjelasan di atas, sepintas apa yang dikatakan oleh Labib dalam tulisannya, bahwa lingkup agama memonopoli pembahasan mengenai pluralisme, merupakan sebuah kebenaran. Namun dengan pengamatan yang lebih jeli akan kita dapati bahwa terdapat pernyataan Labib yang lain yang menyebutkan keberadaan posisi pluralisme sejatinya adalah dalam ranah sosial, bukan yang lain. Apabila kita ingin konsisten merujuk kepada makna asli dari kata tersebut, tentu saja pernyataan tersebut juga merupakan sesuatu yang salah kaprah. Ditinjau dari makna bahasa maupun makna istilahnya, pluralisme tidak hanya digunakan dalam ranah sosial namun juga digunakan dalam berbagai lingkup pembahasan lainnya semisal etika, filsafat, moral, bahkan politik. Dengan demikian apa yang disebutkan Labib dalam tulisannya sama sekali tidak memberikan sebuah pencerahan terhadap masyarakat, akan tetapi justru memunculkan kerancuan dan kebingungan ditengah masyarakat mengenai pluralisme itu sendiri.

Barat, Pluralisme, dan Pluralisme Agama

Sejatinya, istilah pluralisme telah diambil oleh Barat sebagai suatu istilah yang khas sebagai penyebutan untuk pluralisme agama. Pluralisme agama itu sendiri didefinisikan sebagai “the world view according to which one’s religion is not the sole and exclusive source of truth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions” (wikipedia.org/Religious_pluralism.htm). Artinya, suatu agama tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Harus ada sebuah pengakuan bahwa terdapat juga kebenaran dalam agama-agama yang lain. Bahkan Charles Kimball dalam bukunya yang berjudul “When Religion Becomes Evil” yang diterbitkan oleh Harper San Fransisco pada tahun 2002 menyebutkan bahwa salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agama itu sendiri. Kemunculan pluralisme agama memang didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan “klaim kebenaran” (truth claim) yang dianggap sebagai pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Kaum pluralis menganggap, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru bisa sirna apabila masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.

Pengambilan istilah pluralisme yang dinisbatkan pada pluralisme agama oleh Barat tidaklah didasarkan pada sesuatu yang bebas nilai. Barat, dengan ideologi yang diembannya, yakni kapitalisme, senantiasa berupaya mempertahankan dominasinya atas bangsa-bangsa lain. Tidak hanya itu, Barat senantiasa berupaya mempromosikan, menyebarkan, bahkan memaksakan ideologinya kepada seluruh bangsa di dunia agar ideologi kapitalisme menjadi kaidah berpikir (qa’idah fikriyyah) dan kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyyah) masyarakat dunia. Ideologi kapitalisme yang mereka emban berlandaskan pada pemisahan antara agama dan kehidupan. Ideologi ini meniscayakan kebebasan dalam segala hal, termasuk dalam beragama. Artinya, tidak boleh ada intervensi negara dalam agama sekalipun ada sekelompok orang yang “mengotak-atik” (baca:melecehkan) agama tertentu sesuai dengan “kreatifitasnya”. Negara juga harus memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk pindah agama (baca:murtad), bahkan mendirikan agama baru. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang wajar, apabila pluralisme yang dinisbatkan pada pluralisme agama senantiasa diemban oleh Barat karena dengan adanya pluralisme agama, setiap agama yang ada dianggap benar dan kebenaran menjadi sesuatu yang relatif. Harapannya, kebebasan beragama (freedom of religion) sebagaimana yang mereka tuangkan dalam Declaration of Human Right benar-benar bisa terwujud ditengah masyarakat dunia. Dengan demikian, hegemoni kapitalisme atas bangsa-bangsa didunia akan tetap terjaga.

Hal inilah yang terjadi pada masyarakat saat ini. Kapitalisme telah menjadi ideologi yang dominan ditengah masyarakat. Masyarakat telah menerima kapitalisme sebagai common ideology bagi mereka. Pemikiran-pemikiran derivat kapitalisme semacam demokrasi, HAM, liberalisme, bahkan hedonisme telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita.  Maka tidaklah mengherankan, ketika istilah pluralisme dipergunakan dalam suatu pembahasan, secara alami masyarakat menganggapnya sebagai pembahasan pluralisme dalam lingkup agama. Misalnya saja dalam kasus meninggalnya Gus Dur pada akhir 2009 lalu. Ketika media massa, yang merupakan salah satu corong kapitalisme, melontarkan pemberitaan yang bombastis terkait kasus tersebut dan kemudian menyebut Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, maka pastilah yang ada dalam benak masyarakat adalah pluralisme agama yang kemudian disimbolkan dengan dialog antar agama, doa bersama, dan perayaan hari raya bersama. Hal tersebut terjadi hampir di seluruh kalangan dengan berbagai latar belakang.

Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang ingin dilakukan oleh Labib dalam tulisannya, yakni mengembalikan makna pluralisme kepada makna aslinya, merupakan sesuatu yang absurd dalam konteks masyarakat kapitalis-sekular saat ini. Usaha itu justru akan semakin menimbulkan kerancuan istilah yang pada akhirnya ikut mengaburkan konsep pluralisme itu sendiri. Penyebutan “pluralisme” yang dinisbatkan pada suatu keadaan di mana masyarakat terdiri dari bermacam-macam suku, bahasa, adat, dan budaya tentu menjadi tidak tepat. Akan lebih tepat apabila kondisi yang demikian disebut sebagai “pluralitas”. Demikian pula untuk menunjukkan sebuah kondisi dimana negara mengayomi seluruh warga negaranya tanpa memandang perbedaan yang ada dan kedudukan warga negara, meski berbeda suku, budaya, atau bahasa, adalah sama. Penyebutan kondisi tersebut sebagai “pluralisme” tentu juga tidak tepat. Akan lebih baik bila digunakan istilah “equality” atau “keadilan sosial”. Sekali lagi hal itu perlu dilakukan untuk menghindari kerancuan dan bias istilah di tengah-tengah masyarakat.

Marjinalisasi Islam dan Ketidakjujuran Sejarah

Di dalam tulisannya, Labib kemudian berusaha mengkaitkan antara pembahasan makna pluralisme dengan usaha-usaha untuk merongrong dasar negara yakni Pancasila. Logika yang ingin dibangun adalah bahwa pluralisme telah diajarkan oleh nenek moyang sejak dulu, salah satunya ditunjukkan dengan kutipan dalam kakawin Sutasoma. Pancasila adalah dasar negara yang dibentuk berdasarkan pluralisme yang telah diajarkan nenek moyang. Berarti, pengharaman dan penolakan terhadap pluralisme adalah sesuatu yang membahayakan Pancasila dan negeri ini. Dengan berani Labib kemudian menuduh umat Islam “fundamentalis” menjadikan agama sebagai kendaraan untuk melakukan provokasi yang pada akhirnya menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Bahkan MUI kemudian dianggap telah membuat masyarakat kalang kabut dengan mengeluarkan fatwa tentang pluralisme. Dari sini, penulis merasakan adanya sebuah upaya untuk melakukan marjinalisasi terhadap Islam dan umat Islam yang sungguh-sungguh memperjuangkan agamanya.

Marjinalisasi terhadap Islam sesungguhnya sudah nampak jelas pada awal tulisan Labib. Kakawin Sutasoma yang dikutip oleh Labib seolah-olah digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat universal dan bebas nilai. Siapapun yang mengaku bangsa Indonesia dan hidup di Indonesia, termasuk umat Islam haruslah mengakui kutipan Sutasoma tersebut sebagai dasar negara dan mengamalkan kutipan tersebut sebaik-baiknya. Padahal, apabila diteliti lebih dalam lagi, apa yang tertera dalam kakawin Sutasoma tersebut bukanlah sesuatu yang bebas nilai ataupun universal. Kakawin Sutasoma, yang digubah oleh Mpu Tantular pada masa kekuasaan Hayam Wuruk sekitar tahun 1365-1389, merupakan sebuah cerita epos yang berkisah tentang pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Meskipun bentuknya merupakan karya sastra yang disusun dalam bait-bait syair, kakawin tersebut sarat dengan nilai-nilai ajaran Hindu dan Budha. Mpu Tantular jelas-jelas mengakuinya dalam salah satu baris manggala/ pembukanya sebagai berikut:

Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya

Yang artinya, “Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha”. Kalau boleh jujur, kutipan Sutasoma yang ditulis oleh Labib pun sudah menggambarkan nilai-nilai Hindu dan Budha. Pada baris yang paling awal dari tulisannya, Labib menulis sebagai berikut:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Kemudian kutipan tersebut diterjemahkan sepotong-sepotong pada pembahasannya. Padahal, apabila terjemahan utuh dari kutipan tersebut dicermati, akan nampak bahwa nilai-nilai Hindu dan Budha begitu melekat padanya dan sekaligus menafikkan ke-universal-annya. Terjemahan utuhnya adalah sebagai berikut:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Kebenaran yang dimaksud di dalam kutipan tersebut tentu saja kebenaran agama Budha dan Hindu, bukan yang lain. Penulisan kakawin Sutasoma sejak awal ditujukan untuk mengajarkan toleransi terhadap pemeluk agama Hindu dan Budha. Caranya adalah dengan memberikan anggapan bahwa agama Hindu dan Budha sebenarnya memiliki Tuhan yang “sama-sama benar”. Dari sini nampak jelas bahwa kutipan Sutasoma tersebut sejak awal juga membicarakan pluralisme agama. Hal ini sangatlah kontradiktif dengan apa yang tulis oleh Labib bahwa kutipan Sutasoma tersebut “menjiwai” pluralisme dalam ranah sosial dan sekali lagi menegaskan apa yang telah disampaikan oleh penulis sebelumnya tentang makna pluralisme.

Terlepas dari itu, upaya Labib untuk mengkaitkan Indonesia ke peradaban Hindu-Budha yang dalam hal ini diwakili oleh kakawin Sutasoma merupakan sesuatu yang perlu dicermati. Padahal, fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam adalah faktor penting dalam sejarah perkembangan bangsa Melayu termasuk Indonesia. Bukan hanya itu, peradaban Islam bahkan telah diakui oleh para sejarawan, barat maupun timur, sebagai sebuah peradaban terbesar di dunia. Berbagai bangsa telah merasakan bagaimana kuatnya pengaruh Islam dalam mengangkat martabat suatu bangsa di dunia. Hal ini dapat kita temukan dengan mudah dalam berbagai referensi. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1988 oleh Pakistan Hijra Council dengan judul “The Prophet’s Establishing a State and His Succession”, menyatakan bahwa salah satu prestasi gemilang peradaban Islam diletakkan oleh Nabi Muhammad dalam mewujudkan sebuah negara dan masyarakat Madinah yang diatur berdasarkan sebuah konstitusi negara tertulis pertama didunia. Seorang orientalis, Karen Amstrong, bahkan memuji Umar bin Khathab yang meletakkan pondasi kerukunan umat beragama dengan sebuah keteladanan yang tinggi saat pasukan Islam menaklukan Yerusalem pada 636 M. Karen Amstrong mencatat hal tersebut dalam bukunya yang diterbitkan oleh Harper Collins Publishers tahun 1997 dengan judul “A History of Jerusalem: One City, Three Faiths”.

Di Indonesia sendiri, Islam masuk dengan cara damai dan kemudian membawa bangsa ini kepada sebuah kejayaan yang tiada bandingannya. Banyak referensi yang memperkuat argumen tersebut. Misalnya saja buku Azyumardi Azra yang diterbitkan Prenada Media Jakarta tahun 2004 dengan judul “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”. Buku tersebut memaparkan fakta-fakta mengenai masuknya Islam ke Indonesia, dan beberapa surat yang dikirimkan oleh raja-raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang isinya meminta Khilafah mengirimkan utusan untuk mengajarkan Islam kepada raja-raja tersebut. Hal itu cukup menunjukkan betapa luar biasanya pengaruh peradaban Islam saat itu hingga raja-raja tersebut, salah satunya adalah Sri Indravarman, tertarik untuk belajar Islam. Belum lagi kalau kita telusuri satu demi satu peninggalan monumental peradaban Islam, tentu saja akan menjadi suatu topik bahasan yang sangat panjang. Sebagian peninggalan tersebut bahkan sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini.

Dengan berbagai bukti tersebut seharusnya bangsa ini mengkaitkan jati dirinya kepada Islam, bukan yang lain. Namun yang terjadi saat ini justru menyedihkan. Selama hampir satu abad, sebagian kalangan justru sibuk mengkaitkan Indonesia dengan peradaban barat. Sebagian lagi sibuk mengkaitkannya dengan “peradaban Majapahit”, dan menganggap Majapahit sebagai puncak peradaban tinggi. Islam kemudian dianggap sebagai barang asing dan seolah-olah tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi wilayah nusantara. Sebaliknya, Islam diposisikan sebagai musuh dari tradisi-tradisi adat. Sekecil apapun usaha dari umat Islam untuk menegakkan kembali syariat Islam akan di anggap sebagai gerakan “fundamental keagamaan” yang membahayakan NKRI. Hal ini ditunjukkan oleh Labib secara terang-terangan dalam tulisannya.

Upaya-upaya semacam itu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Upaya untuk memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara sudah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda. Para orientalis Belanda, semisal Snouck Hurgronje atau Van Leur telah berkali-kali mempublikasikan tulisan-tulisan mereka yang menampakkan kebenciannya pada Islam dan berusaha mempengaruhi masyarakat untuk menjauhi Islam. Snouck bahkan mengaku muslim dengan nama Abdul Ghaffar agar bisa diterima kaum Muslim di nusantara. Padahal Snouck sendiri menyatakan dalam tulisannya bahwa Islam adalah agama orang-orang biadab. Dalam bukunya, “Nederland en de Islam”, Snouck mendorong pemerintah kolonial untuk semakin memperluas pengaruh pendidikan Barat di negeri kaum Muslimin. Snouck mengatakan “opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren” yang artinya, pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam. Inilah yang harus senantiasa diwaspadai oleh umat Islam.

Ketidakjujuran sejarah kembali ditunjukkan oleh Labib pada penghujung tulisannya. Disana ia menyatakan bahwa KH. Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 memfatwakan NKRI sudah final. Padahal kalau kita cermati lagi konten Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, tidak satu pun kalimat yang menyatakan demikian. Resolusi Jihad tahun 1945 dikeluarkan oleh para ulama NU saat itu sebagai respon atas masuknya kembali penjajah ke wilayah Indonesia yang baru saja merdeka. Para ulama berkumpul di Surabaya untuk membicarakan masalah tersebut. Pertemuan yang berlangsung dari 21 Oktober tersebut memutuskan bahwa umat Islam diwajibkan mengangkat senjata (jihad) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Resolusi Jihad tersebut ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Sehingga jelas, titik tekan dari resolusi tersebut adalah jihad melawan penjajah, bukan yang lain.

Politik “stick and carrot” dan Jebakan-Jebakan Negara Imperialis

Pada bagian akhir tulisannya, Labib mengutip pendapat Agus Maftuh Abegebriel, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Agus Maftuh dalam dalam opininya di harian Jawa Pos 28 Juli 2009 menegaskan, ada semacam perselingkuhan internasional yang bertujuan mengembangbiakkan virus religious extremist di dunia. Hasil dari perselingkuhan tersebut adalah sebuah desain international Islamic front untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa. Kemudian opini ini dijadikan landasan oleh Labib untuk membuat sebuah kesimpulan yang intinya, pluralisme harus dilestarikan. Setiap pihak yang berusaha merongrong “harmoni” pluralisme haruslah ditentang. Namun, dengan diangkatnya opini Agus Maftuh dalam membangun kesimpulan, Labib seolah ingin menunjukkan bahwa individu atau organisasi yang menentang pluralisme adalah individu-individu atau organisasi yang telah terjangkit virus religious extremist, fundamentalis, dan membahayakan negara. Bukan hanya itu, individu atau organisasi tadi dianggap sebagai hasil “perselingkuhan” internasional yang di desain dan didanai oleh Amerika dan negara-negara Barat yang lain. Ini merupakan propaganda sesat yang menyudutkan organisasi, kelompok, atau pergerakan Islam yang selama ini ikhlas untuk memperjuangkan Islam karena sebagaimana yang telah kita ketahui, penentangan terhadap pluralisme telah dilakukan oleh berbagai komponen umat Islam semisal NU, Hizbut Tahrir, Persis, FUI, Hidayatullah, Al Irsyad, DDII, dan bahkan MUI!

Untuk mengungkap propaganda tersebut kita perlu mencermati kembali opini Agus Maftuh. Sejatinya apa yang ditulis Agus Maftuh Abegebriel di Jawapos, yang kemudian dijadikan rujukan oleh Labib, bukanlah murni hasil pemikirannya sendiri. Agus hanyalah “menyampaikan kembali” teori yang dicetuskan oleh Robert Dreyfuss, seorang anggota ASJA (the American Society of Journalist and Authors), dalam bukunya yang berjudul “Devil’s Game; How The United States Helped Unleash Fundamentalist Islam”. Buku tersebut diterjemahkan dan disusun kembali oleh Agus dengan judul “Devils Game Orchestra Iblis, 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extrimist”. Buku tersebut kemudian diterbitkan oleh SR-Ins publishing pada tahun 2007. Buku setebal 486 halaman tersebut menceritakan tentang keterlibatan Amerika Serikat (AS) dan CIA dalam sejumlah peristiwa terorisme termasuk peristiwa 11 September 2001.

Salah satu analisis Dreyfuss dalam bukunya menyebutkan bahwa tragedi 11/9 yang membuat dunia kemanusian ternoda masih ada relevansinya dengan dendam lama seorang murid (kelompok Islam ‘garis keras’) terhadap sang guru, Amerika. Awalnya, terhitung sejak 1945 hubungan kedua kelompok ini sangat harmonis bahkan romantis. Di sebuah geladak kapal yang berlabuh di Great Bitter Lake di atas Terusan Suez berlangsung meeting penting antara kedua belah pihak. Amerika yang diwakili Franklin Delano Roosevelt bertemu Raja Abdul Aziz bin Saud. Pertemuan pertama antara seorang Presiden Amerika dengan seorang Raja Saudi ini di dek kapal—lengkap dengan pesta kambing—merupakan tiang pancang bagi keberlangsungan hubungan mesra kedua negara sekaligus cikal bakal tumbuh suburnya kelompok Islam “Radicalism” yang saat ini tersebar di seluruh penjuru benua. Akan tetapi hubungan mesra itu gagal dipertahankan oleh Amerika yang berujung pada kebencian mendalam kelompok Islam politik yang dulunya menjadi sekutu dan parner Amerika ketika mengakhiri riwayat “The Red Peril” Uni Soviet. Tentu saja analisis semacam itu menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan yang negatif terhadap gerakan-gerakan Islam yang memusuhi AS.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati. Yang pertama terkait penisbatan kata-kata “fundamentalis”, “religious extremist”, ataupun “radikal” terhadap sebagian gerakan atau individu Muslim. Penisbatan tersebut sebenarnya merupakan salah satu strategi AS untuk menggembosi dan melemahkan umat Islam. Gerakan “fundamentalisme” atau “radikalisme” Islam oleh AS diidentikkan dengan fundamentalisme Kristiani yang tumbuh di Barat. Dalam khazanah Barat, fundamentalis merupakan respon kalangan konservatif terhadap perkembangan teologi liberalisme, modernisme, dan gejala sekularisme di Amerika Serikat (sekitar tahun 1910-an). Bersamaan dengan itu, gerakan fundamentalisme kemudian identik dengan gerakan yang anti ilmu pengetahuan dan modernisasi, absolutisme dengan menganggap diri paling benar, eksklusivisme dalam pengertian tertutup dari realita dunia luar, fanatisme, agresivisme, dan sejumlah konotasi negatif lainnya.

Namun secara faktual, istilah fundamentalis, radikalis, ataupun ekstremis dengan segala konotasi negatifnya sesungguhnya lebih sering digunakan oleh Barat untuk mengindentifikasikan suatu kelompok yang menentang kemauan Barat dan membahayakan kepentingan Barat. Candra Muzafar, seorang cendekiawan Malaysia, berpendapat, “Di mata Barat, yang membuat mereka dicap sebagai fundamentalis adalah keteguhan mereka dalam menolak hegemoni  Barat serta menjaga integritas dan independensi mereka. Namun, fakta ini dengan amat rapih disembunyikan. Sebaliknya, media Barat menunduh kaum fundamentalis itu sebagai fanatik, brutal, dan teroris. Ini merupakan upaya manipulasi untuk menjaga agar sekelompok orang ‘di dunia beradab’ bisa terus-menerus memonopoli kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan.” (Far  Eastern Economic Review, 23 April 1992).

Lebih jauh lagi, penggunaan istilah-istilah semacam itu dilakukan untuk memecah belah ukhuwah umat Islam. Barat secara sistematis mengadu-domba sesama kaum Muslim dengan memilah mereka  dengan istilah militan vs moderat, scriptualis vs substansialis, politik vs kultural, moral vs politik, dan istilah-istilah lainnya. Tujuannya adalah menggunakan umat Islam sendiri untuk menghancurkan tubuh mereka. Tidak mengherankan jika kemudian terjadilah saling menyalahkan di antara umat Islam. Inilah yang biasa disebut sebagai politik “stick and carrot”. AS mendorong, memberikan dana yang besar, dan pujian kepada kelompok Islam yang dia anggap tidak berbahaya. Mereka diberikan wortel (carrot); seakan-akan begitulah seharusnya umat Islam—tidak berpolitik, tidak militan, tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, dan tidak berjihad meskipun ditindas. Sebaliknya,  kelompok yang menentang AS akan diberikan gelar-gelar negatif dan diberikan tongkat (stick).  AS juga memanfaatkan intelektual binaan Barat dan tokoh-tokoh Islam (baik disadari oleh sang tokoh atau tidak) untuk melakukan hal itu. Berbagai penghargaan kemudian diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap sejalan dengan AS, kalau perlu, diberi gelar orang suci (the holy man). Yang justru dilakukan oleh umat Islam kemudian adalah cekcok sesama mereka sehingga mereka teralihkan bahwa musuh bersama mereka sesungguhnya adalah kapitalisme global yang diemban oleh AS.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah terkait ‘keharmonisan’ antara Amerika dengan ‘religious extremist’ yang disebutkan oleh Dreyfuss. Penulis melihat, hubungan antara Amerika dan CIA dengan beberapa gerakan Islam tidaklah diletakkan pada porsi yang tepat. Yang terjadi kemudian adalah penggambaran bahwa gerakan-gerakan Islam yang ada seolah-olah ‘munafik’ atau bermuka dua, menentang AS tapi disokong AS dari segi finansial atau yang lain. Dan hal tersebut cenderung digeneralisasi pada seluruh gerakan atau organisasi Islam yang bersuara lantang menentang AS dan ideologi kapitalisme yang diembannya. Padahal itu sama sekali tidak benar. Segala keterkaitan antara gerakan atau organisasi Islam dengan Amerika dan intelijen mereka haruslah dilihat sebagai upaya infiltrasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh AS untuk merusak gerakan mereka.

Untuk mengungkapnya, kita harus sejenak melihat ke belakang. Pasca runtuhnya Khilafah pada tahun 1924, Dunia Islam mengalami kemunduran materi secara drastis. Seluruh Dunia Islam telah berubah menjadi Dunia Ketiga setelah sebelumnya menjadi Dunia Pertama. Dunia yang asalnya disatukan dalam sebuah negara khilafah akhirnya terkoyak menjadi 50 lebih nation state. Konflik internal, perang saudara, dan perang buatan juga telah mewarnai dunia mereka yang berakibat pada semakin kukuhnya cengkeraman imperialis penjajah atas wilayah mereka. Prestasi ekonominya terpuruk: mata uangnya menurun drastis, utangnya meningkat, serta jumlah pengangguran dan tunawismanya begitu fantastis. Rekor kriminalitas, baik kejahatan individu, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain meningkat. Sebaliknya,  aktivitas amar makruf nahi mungkar diaborsi. Fitnah dengan mudah dihembuskan. Kecurigaan dan sakwa-sangka juga mewarnai hubungan sesama mereka akibat ulah agen-agen intelijen yang jumlahnya begitu banyak. Semua negara mereka undercontrol negara-negara imperialis: Amerika, Inggris, dan Prancis. Para penguasa wilayah tersebut juga tak ubahnya seperti boneka. Di tengah situasi seperti inilah, suara kebangkitan yang diserukan oleh berbagai gerakan Islam samar-samar terdengar. Bahkan, tulis Huntington, kebangkitan Islam telah berhasil merekonstruksi kebijakan sejumlah rezim di Dunia Islam yang lebih pro-Islam ketimbang Barat.

Namun demikian, kebanyakan gerakan atau organisasi Islam tersebut lahir sebagai reaksi sehingga kemunculannya bersifat spontan. Karena itu, umumnya mereka tidak memiliki visi, misi, tujuan, dan strategi yang jelas. Ketiadaan suprastruktur itulah yang menyebabkan gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai human resources yang mempunyai kesadaran yang sahih (al-wa‘y as-shahih), selain mengandalkan ketokohan, kedudukan, dan kepentingan yang sama. Akibatnya, banyak gerakan Islam mengalami disorientasi, bahkan sering dieksploitasi oleh kepentingan rezim dan negara-negara imperialis penjajah seperti Amerika dan Inggris.

Kasus gerakan Wahabi di Hijaz sebelum runtuhnya Khilafah, Harakah al-Khilafah tahun 1924 di India, Ikhwan al-Muslimin di Mesir era Revolusi Juli 1952, DII di Indonesia era 1950-an, MNLF (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation Front) di Mindanao, Mujahidin dan Taliban di Afganistan dekade 1990-an, dan lain-lain adalah contoh nyata. Gerakan Wahabi ditunggangi oleh kepentingan Inggris melalui Ibn Sa‘ud. Hal tersebut dijelaskan oleh Nadiyah dalam bukunya, al-Ashr al-‘Utsmani hlm. 239-256, juga oleh Abdul Qadim Zallum dalam buku beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah”, hlm.  10-12. Harakah al-Khilafah berhasil dibelokkan sehingga menjadi nationalism movement.  Ikhwanul Muslimin pengaruhnya dimanfaatkan oleh agen Amerika, Gamal Abdul Nasser, untuk menggulingkan Raja Faruk, pada era Revolusi Juli, dan setelah itu mereka dibantai oleh ‘kawan’ seperjuangnya. Pengaruh DII di Sumatera dimanfaatkan oleh Amerika untuk menyulut pemberontakan di wilayah tersebut dan, setelah itu, Amerika menawarkan ‘bantuan’ kepada pemerintah RI untuk menumpas gerakan tersebut. Itu terungkap dalam buku “Subversi sebagai Politik Luar Negeri, Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia” yang disusun oleh Audre R. Kahin dan George R. Kahin.  MNLF dieksploitasi oleh Inggris untuk memisahkan diri dari Filipina yang dicengkeram Amerika. Mujahidin, yang dilatih dan dibantu penuh oleh Amerika untuk menggulung cengkeraman Uni Soviet di Afganistan, kemudian  dihabisi oleh Taliban yang sebelumnya juga dibentuk dan didanai oleh Amerika melalui agen-agennya, Saudi dan Pakistan. Akhirnya, Taliban juga mengalami nasib yang sama.

Kasus-kasus yang telah disebutkan di atas menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara Imperialis dalam membelokkan atau merusak sebuah gerakan atau organisasi Islam bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh gerakan atau organisasi tersebut. Terlepas dari tinggi rendahnya kualitas pemikiran dan metode geraknya, gerakan atau organisasi Islam muncul sebagai bentuk kecintaan yang amat sangat kaum Muslimin terhadap agamanya sehingga timbul sebuah keinginan untuk mengembalikan kemuliaan dan kejayaan umat Islam sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh generasi sebelum mereka, generasi Rasulullah dan para sahabat yang dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya. Perspektif inilah yang seharusnya dimiliki oleh seorang Muslim apapun posisi, latar belakang, dan jabatannya.

Di sisi lain, justru kita bisa melihat secara nyata perselingkuhan antara negara Imperialis penjajah dengan organisasi atau gerakan yang selama ini terus membela dan mempromosikan pluralisme. Organisasi-organisasi tersebut dapat secara masif mempromosikan pluralisme dengan sokongan penuh, baik moral maupun finansial, dari negara-negara imperialis. ICIP (International Center of Islam and Pluralism) misalnya, organisasi yang didanai oleh The Asia Foundation (TAF) ini telah berulangkali melakukan upaya infiltrasi ke pesantren-pesantren. Hal ini pernah disampaikan oleh KH Khalil Ridwan, ketua umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), dalam sebuah tulisan ‘warning’ yang dimuat oleh Harian Republika pada 27 Maret 2006. Pada 18-28 September 2002, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga yang didanai oleh Amerika telah mengundang 13 pesantren ‘pilihan’ untuk melakukan kampanye dukungan terhadap liberalisme dan pluralisme. TAF yang merupakan sebuah LSM international, juga telah mendanai lebih dari 1000 pesantren untuk berpartisipasi dalam mempromosikan pluralisme dalam komunitas sekolah Islam di seluruh Indonesia.

Fakta lain yang terungkap, Amerika dan Australia pernah mengucurkan dana sejumlah USD 250 juta dengan dalih turut mengembangkan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di Indonesia. Padahal menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi ‘madrasah-madrasah’ dan ulama yang membenci Barat dan pluralisme yang mereka usung. Hingga detik  ini pun kita masih bisa menyaksikan, berbagai lembaga dan organisasi yang lantang menyuarakan pluralisme tidaklah lebih dari hasil ‘perselingkuhan’ internasional antara lembaga tersebut dengan negara-negara Imperialis penjajah. Apabila hal tersebut ingin diungkap satu per satu, tentu akan menjadi sebuah pembahasan tersendiri.

Penutup

Serangan terhadap pemikiran dan konsep Islam akan selalu ada pada setiap masa, bagaimana pun bentuknya dan sebesar apapun intensitasnya. Serangan tersebut terkadang dilakukan secara langsung kepada konsep-konsep Islam, namun terkadang dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan stigma negatif terhadap para pengemban pemikiran Islam. Pada suatu masa tertentu, semisal masa sekarang, serangan tersebut datang secara terang-terangan dalam intensitas tinggi. Namun pada masa yang lain, saat Islam diterapkan sebagai sebuah aturan kehidupan oleh negara, yakni pada masa Khulafaurrasyidin dan Khilafah sesudahnya, serangan tersebut datang secara sembunyi-sembunyi, menyelinap dari belakang dalam intensitas rendah.

Serangan yang terjadi saat ini datang dalam bentuk yang bermacam-macam. Namun serangan tersebut rupanya mendapat respon yang tidak seharusnya dari umat Islam sendiri. Umat Islam merespon segala serangan tersebut dengan sikap defensif apologetik, penuh kepasrahan, dan bahkan diiringi oleh penerimaan terhadap ide-ide dan pemikiran asing yang menyerangnya. Tidak jarang pula penerimaan tersebut ditindak-lanjuti oleh komponen umat dengan turut serta mempromosikannya. Hal itu dapat dipahami sebagai akibat dari hilangnya pemikiran produktif dari benak kaum Muslimin.

Hilangnya pemikiran produktif dari diri umat, pasca dihembuskannya penutupan pintu ijtihad pada abad ke-4 H/10 M melalui fatwa al-Qaffal (w. 340 H), telah mengakibatkan umat Islam kehilangan kekayaan pemikiran (al-tsarwah al-fikriyyah). Dampak hilangnya intellectual resources ini terlihat dengan jelas ketika Khilafah Utsmaniyah berhadapan dengan kemajuan Eropa yang fantastis pasca Renaisans abad ke-18 M. Melalui Sultan ‘Abdul Majid (1839-1861 M), Khilafah Utsmaniyah melancarkan apa yang disebut dengan Tanzhîmât (reorganisasi). Sekolah-sekolah baru yang berciri sekular didirikan untuk melatih kalangan militer dan korps birokrasi dengan mengorbankan madrasah tradisional. Ketentuan hukum dan peradilan diadaptasi dari Eropa untuk mengatur masalah sipil, perdagangan, dan hukum menggantikan syariah, seperti yang terlihat dalam al-Ahkâm al-‘Adliyyah, yang dikeluarkan pada tanggal 10 Maret 1885 M. Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa umat Islam tidak lagi percaya diri dengan ide yang dimilikinya sehingga kemudian mengambil pemikiran asing dan mengagung-agungkannya.

Namun betapa pun kuatnya serangan pemikiran yang dilakukan terhadap Islam, tetap tidak mampu memadamkan cahayanya. Betapa umat Islam masih mampu mempertahankan sebagian kekayaan pemikiran mereka walaupun dalam kondisi  yang compang camping. Fenomena tersebut dapat kita lihat saat ini, dimana kesadaran umat untuk kembali kepada Islam semakin menguat di tengah-tengah kerusakan yang terjadi. Sebagai contohnya, fenomena kemunculan bank-bank syariah, semakin banyaknya orang yang menutup auratnya, semakin intensifnya kajian-kajian keIslaman di kampus maupun perkantoran, dan juga semakin meluasnya dukungan terhadap penegakkan Syariah dan Khilafah di berbagai daerah. Semua itu menunjukkan bahwa cahaya Islam tidak dapat dipadamkan dengan cara apapun!

Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan bahwa tulisan Labib, ataupun tulisan-tulisan yang serupa dengannya tidaklah seharusnya dimuat dalam website resmi ITS, sebuah kampus yang mayoritas mahasiswanya adalah Muslim. Labib dalam tulisannya pernah menyebutkan bahwa pemahaman sekilas para awamlah yang kemudian memicu memanasnya pertentangan dalam wilayah berlabel “pluralisme agama”. Dan penyebabnya sederhana, kemalasan untuk melakukan kajian mendalam. Namun setelah dikaji lebih dalam justru terlihat siapa sebenarnya yang malas mengkaji dan siapa pula yang ‘awam’. Labib juga menyebutkan janganlah mudah-mudahnya melahap umpan sembarangan. Dalam urusan terprovokasi, kita terlalu gampangan. Namun sekali lagi, dari berbagai penjelasan yang diberikan oleh penulis, khususnya ketika membicarakan jebakan-jebakan negara imperialis, nampak jelas siapa sebenarnya yang terlalu mudah melahap umpan sembarangan, dan siapa pula yang gampang terprovokasi oleh opini liar di media masa.

Penulis mengajak kepada seluruh pihak, khususnya umat Islam untuk memandang segala persoalan dengan pandangan dan pemikiran yang cemerlang (fikrul mustanir). Penulis juga menghimbau kepada seluruh komponen umat untuk senantiasa menjaga ukhuwah dan tidak terjebak oleh berbagai strategi dan taktik yang dilancarkan oleh negara-negara kufur imperalis. Yang terakhir, penulis menghimbau kepada umat Islam yang turut mempromosikan ide-ide asing termasuk pluralisme agama, untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Sesungguhnya tindakan mempromosikan atau hanya sekedar membenarkan pluralisme telah nyata keharamannya. Penulis juga menghimbau kepada pengelola ITS online untuk lebih selektif dalam memilih tulisan yang akan ditampilkan. Kualitas opini yang ditampilkan dapat menggambarkan seberapa baik kualitas website resmi ITS. Wallahu a’lam bi ash-showab. [nevergiveup]

15 Komentar

Filed under Ilmiah, Opini, Pemikiran

15 responses to “Pluralisme dan Penyesatan Opini

  1. Assalamualaikum

    sudah lama tidak mampir di blogmu, aku terpana dengan tulisanmu diatas. Aku setuju dengan isi apa yang kamu tulis, namun alangkah baiknya jika kamu juga menyediakan thread menuju tulisan Labib sehingga orang bisa menilainya secara lebih komprehensif dan adil.

    Komentarku berikutnya hanya berdasar pada tulisan ini.

    Aku setuju dengan apa yang kamu diskusikan tentang plurarisme atau pluraritas. Sering kali aku memandang bahwa bangsa kita telah salah kaparah untuk meletakkan posisinya dalam kehidupan bermasyarakat. Kemajemukan adalah suatu keniscayaan. Namun bagaimana pengolahan kemajemukan itulah yang menjadi masalah hingga sekarang. Banyak orang di bangsa ini, sebagai akibat dari doktrinisasi selama orde baru, menilai kemajemukan bangsa ini berdasar pada kitab Sutasoma tersebut sebagai dasar pembentukan Pancasila. Namun, perlu diingat, bahwa sebenarnya tidak ada fakta sejarah yang secara komplit membuktikan bagaimana cara kerajaan Majapahit dalam mengatur dan mengolah kemajemukan. Apakah kemudian sebuah bait dari sebuah kitab bisa dijadikan suatu fakta sejarah? Sebelum menjadikannya menjadi fakta sejarah, maka perlu dinilai bagaimana latar belakang penulisan kitab tersebut, latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik saat kitab tersebut ditulis. Demikian juga dengan latar belakang penulis dan tujuan kitab tersebut ditulis. Nah, dalam kasus kitab Sutasoma, aku sampai sekarang belum melihat fakta-fakta sejarah itu disampaikan secara utuh. (Mungkin seperti bagaimana sebuah Hadist diriwayatkan, harus lengkap asal usulnya dan urut). Maka berdasarkan hal tersebut, adalah aneh jika kemudian Kitab Sutasoma dijadikan dasar untuk menilai bagaimana seharusnya suatu kemajemukan masyarakat diolah. Dan sejauh yang saya ketahui, sebenarnya agama Hindu pada waktu tersebut terpecah menjadi 2 golongan besar, Hindu Siwa dan Hindu Wisnu. Jika kemudian bait Sutasoma tersebut hanya mengatakan Budha dan Siwa, maka tentunya terjadi diskriminasi secara terang-terangan terhadap penganut Hindu Wisnu.

    Permasalahan kedua adalah tentang kewajiban asasi kita sebagai manusia. Kemajemukan dan berbagai hal yang menjadi efek di belakangnya dapat diatasi dengan baik jika kita semua mau melaksanakan kewajiban asasi kita yang paling utama. Beribadah dengan sungguh-sungguh dan benar kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan kukira semuanya harus dimulai untuk menginstropeksi diri kita masing-masing. Jangan kemudian kita hanya menuntut berbagai Hak Asasi yang ditetapkan oleh segelintir orang dan melupakan kewajiban asasi kita. Padahal aturan yang ada mengatakan, tunaikan dulu kewajibanmu baru tuntutlah hakmu. Hal ini, kutujukan terutama bagi mereka yang memperjuangkan pluralisme yang berlebihan, dengan mencoba mencabut UU Penistaan Agama dan UU Pornografi. Dan bagi mereka yang mendukung memberlakukan UU Nikah Siri yang dalam aturan-aturan didalamnya telah melanggar dengan nyata aturan agama Islam. Dan juga bagi para gay, lesbian, dan biseks yang mencoba untuk menyelenggarakan kongres di Surabaya.

    Wallahu a’lam bi ash-showab

    NB : Jangan lupa mampir di blogku untuk mengkritisi tulisanku.

  2. tomie

    saya kira penulis artikel ini juga SALAH KAPRAH

    Anda menganalisisnya rancu.Bedakan antara Anda sebagai orang yang menganut Islam versi Anda, dengan Anda sebagai muslim yang tinggal di Indonesia.

    Saya rasa, Labi menulis dirinya sbg Muslim yng punya tanah air di indonesia.

    Anda juga SALAH KAPRAH dg Pluralisme Sutasoma yg dimaksud Labib.
    Anda terjebak pd NAMA. dan bukan MAKSUD

    pluralisme yng dimaksud Labib adalah KEADAAN

    • pembelaislam

      Di hadapan Allah, tidak ada bedanya seorang Muslim yang tinggal di Indonesia ataupun diluar Indonesia. Tidak ada bedanya seorang Muslim arab, jawa, sunda, ataupun papua. Yang membedakan adalah ketaqwaannya, inna akromakum ‘indallahi atqookum. Sehingga merupakan sesuatu yang keliru apabila ada upaya membedakan Muslim di Indonesia dgn yang lainnya dalam konteks tersebut.

  3. tomie

    tetapi saya sepakat bahwa pluralisme yang diusung gus dur, kemudian banyak dimanfaatkan.Padahal kita juga harus mengerti apa yang DIMAKSUD GUS DUR dengan PLURALISME DI NEGERI INI

    bagi dia fanatisme terhadap Islam cukup dalam hati dan sesama Islam.Tidak perlu otak-atik agama lain.BUAT APA??

    ADALAH KUNO BERDAKWAH DENGAN FORMAL
    LEBIH BAIK DENGAN PERBUATAN

    DI BARAT, BANYAK NONMUSLIM MASUK ISLAM JUSTRU KARENA PERBUATAN BUKAN AJAKAN DAKWAH YANG KAYAK DI INDONESIA INI YANG SAMBIL LALU JELEKKAN AGAMA LAIN?

    terima kasih.salam…

    • pembelaislam

      Alhamdulillah, akhirnya mas Tomie sepakat^^ Memang kita tidak perlu otak-atik agama lain. Dakwah, dalam konteks dakwah terhadap nonmuslim, memang lebih efektif dilakukan dengan perbuatan, yaitu dengan menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatalil’alamin. Namun perlu diingat bahwa keberadaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tidak akan pernah terwujud secara sempurna apabila Syariah Islam tidak diterapkan sebagai solusi dalam setiap aspek kehidupan. Di Barat, hanya dengan melihat akhlak individu Muslim atau kekuatan aqidah individu muslim ditengah terpaan Islamophobia dan isu terorisme, banyak orang yang masuk Islam. Padahal penerapan syariah hanya terbatas pada aspek-aspek individual saja (sholat, jujur, amanah, dll). Bayangkan jika yang menerapkan syariah adalah negara, maka akan jauh lebih banyak lagi yang akan masuk Islam. Dulu ketika Rasulullah berhasil menegakkan negara yang menerapkan Syariah Islam di Madinah, kemudian melakukan Fathul Makkah dengan damai, orang-orang nonmuslim berbondong-bondong masuk Islam. Hal itu bahkan dikisahkan oleh Al-Qur’an surat An-Nashr.

      Karena itu, saya mengajak mas Tomie untuk ikut memperjuangkan Syariah Islam, agar dapat diterapkan secara kaffah, total, dalam setiap aspek kehidupan. Yuuk^^

  4. tomie

    hahaha,salam mas pembela

    islam sebagai negara?
    bisa tegaskan dg jelas bhw islam sbg negara bukan bid`ah?

    orang2 barat masuk Islam krn mereka awalnya BENCI sama Islam kala lihat TERORIS bUKAN?

    dan ketika mereka baca sendiri teks Islam, dan orang Islam yang ternyata TIDAK SAMA dg para teroris, mereka terharu, dan meraskan kualitas keislaman yg Agung dan Sejati.

    Islam sebagai negara?
    Islam macama apakah?

    Kita ini diindonesia saja sering tengkar sesama muslim?
    Islam yg macam manakah???

    jangan2,kita malah saling tengkar ttg kebenaran dan kesesatan?

    salam mas pembela

    • pembelaislam

      Saya tidak pernah menyatakan Islam sebagai negara. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah yang MENGATUR hubungan antara manusia dgn Al-Khaliq, hubungan manusia dgn dirinya sendiri, dan dgn manusia yg lain. Jadi, seorang muslim wajib menaati setiap aturan Allah yang mengatur aspek2 tersebut. Dalam hubungannya dgn Allah, seorang muslim wajib menaati aturan Allah, misal wajib Shalat sbg bentuk ibadah. Dalam hubungan dgn manusia yg lain, seorang muslim juga wajib menaati aturan Allah, misal dalam berdagang, wajib menaati aturan Allah (harus jujur, akadnya jelas, dll. Juga dalam bernegara, wajib juga menaati aturan Allah. Allah telah menetapkan bahwa negara harus dibangun di atas landasan Aqidah (bukan nasionalisme)dan dipimpin oleh seorang Khalifah. Kalau aturan2 tersebut ditaati, maka akan mendapatkan pahala. Tapi sebaliknya, kalau aturan itu diabaikan, maka akan mendapat siksa (dosa). Contoh kecil deh, di Al-Qur’an ada ayat yg mengharamkan Riba (QS Al Baqarah:275). Kalau dalam ber-ekonomi qta sebagai muslim membiarkan terjadinya riba, maka qta pun berdosa. Kualitas KeIslaman yg Agung dan Sejati benar2 akan terwujud dgn sempurna hanya jika ekonomi, politik, pendidikan, sosial kemasyarakatan bahkan negara kita di atur dgn aturan2 Islam.

      • tomieguanteng

        nasionalisme bagi saya itu wajib
        saya heran,kenapa dipertentangkan dg Akidah?
        sebab,nasionalisme bisa berakar pada akidah bukan?

        nasionalisme itu cinta tanah air akh…
        jadi tak persinggungan untuk dipertentangkan.

        negara terlalu idealise kurasa
        kenpa?

        disini ada NU,MUHAMMADIYAH,PERSIS,DLL..
        lebih sepisifik lg, ada 4 mazhab!

        hayo,bikin negara islam
        habis itu,saling bunuh sesama muslim,hanya karena soal2 syariah yang berbeda

        perhatikan saja,definisi ttg negara syariah itu macam apa
        BIKIN KERIBUTAN TIDAK PERLU

        sgt mudah berikan kata SESAT,SYIRIK,KAFIR pada oranglain

        bandingkan dg NU-MUHAMMADIYAH
        mereka tidak serajin dg orang2 yg punya konsep negara islam dalam mensesat-kafirkan sesama

        tunjukkan dulu kredibelitas dan integritas kalian sebagai seorang muslim sblm bicara negara islam pasti dan mutlak bagus!

        wong interaksi sesama muslim saja ruwet begitu???

        NU-MUHA adalah contoh muslim yang luar biasa!
        dulu mereka rajin mencerca,kini mereka tambah dewasa dan matang keislamannya shg saling memaklumi perbedaan masing2 bukan?

        mohon maaf atas kata2 yg kurang berkenan

      • pembelaislam

        Hmm, nampaknya ada persepsi yang keliru pada komentar mas Tomie. Negara Islam tidak bisa mengakomodasi semua mazhab? Benarkah? Karena perbedaan pada cabang-cabang syara’ saling bunuh? Apakah itu dibenarkan? Yah, nampaknya perlu penggambaran yang lebih gamblang seputar negara Islam terhadap mas Tomie. InsyaAllah nanti akan saya jelaskan dalam tulisan tersendiri, khusus membahas masalah tersebut. Juga tulisan khusus untuk membahas ttg nasionalisme:) Overall, terimakasih atas smw komentarnya^^

  5. tomie

    Oya, bedakan antara ISlam dan ARAB

    ARAB HANYALAGH TEMPAT ISLAM DITANAMKAN
    ITU PENTING ANDA PAHAMI DG BAIK MAS PEMBELA

    • pembelaislam

      Yup^^, tidak perlu khawatir mas tomi, saya bisa membedakan kog. Islam bukan arab, dan arab tidak selalu Islam. Negara-negara arab yang ada saat ini TIDAK SATUPUN yang menerapkan Islam secara total. Bahkan mereka semua tidak lebih dari pecundang yang senantiasa membebek kpd tuan-tuannya, para kapitalis.

  6. tomieguanteng

    hahaha
    inilah ironisme kita bersama akh pembela
    Arab Saudi misalnya…

    tetapi, jangan lupa mengoreksi diri kita sendiri.Jangan2, kita termasuk di dalamnya? hehe

    sukron katsir ya akhi alkarim 🙂

    • pembelaislam

      Arab saudi adalah negara yg tegak di atas nasionalisme. Kalau kita juga menjadikan nasionalisme sebagai ikatan di antara anggota masyarakat berarti kita sama dgn saudi ya? Hmm, insyaAllah nanti akan saya bahas lebih lanjut permasalahan tersebut dalam tulisan tersendiri. Trims juga atas komentarnya^^

      • tomi

        sukron katsir ala hidamatikum 🙂
        saya tunggu gambaran Anda terkait Negara Islam dan Nasionalisme

        salam juang 🙂

Tinggalkan Balasan ke tomieguanteng Batalkan balasan